Selasa, 13 Oktober 2015

Perang Mangkubumen Part II

Perang Mangkubumen
Terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta
Pada malam harinya barulah jenazah Raden Tumenggung Dipoyudo I diangkat dan dibawa ke Banyumas, kemudian dimakamkan di Pesarean Dawuhan. Sejak ilu Raden Tumenggung Dipoyudo I dikenal den-gan sebutan Tumenggung Seda Jenar atau Dipoyudo Sedo Jenax. Waktu Raden Tumenggung Dipoyudo I gugur dalam Perang Jenar (Perang Mangkubumen), baru berumur 29 Lahun. Ketiga puteranya masih- keeil-keeil, jadi tidak ada yang dapat menggantikannya. Kemudian sebagai penggantinya diangkat pulera dari Kyai Raden Adipali Yudonegoro III Bupati Banyumas, sebagai Ngabehi Karanglewas dan bergelar DipoyudoII. Ia adalah menamu Radon Tumenggung Wongsonegoro I, Bupali PanjerKebumen. Kemudian Raden Bagus Muksin atau Raden Dipomenggolo,putera ke 3 (tiga) Raden Tumenggung Dipoyudo I menjadi Ngabehi SokaKebumen. Raden Bagus Muksin atau Raden Dipomenggolo, putera ke 3(tiga) dari Raden Tumenggung Dipoyudo I menjadi Ngabehi Soka menurunkan Raden Dipoyudo Bupati Banjarnegara (rah Kolopaking.Selanjutnya setelah selesai peperangan di Jenar, maka Raden Ngabehi Notowijoyo atau Radon Ngabehi Kenduruan I yang dalam Perang jenarluka beral namun dapal meloloskan diri, diangkal menjadi Bupati Roma(Gombong), dengan gelar Kyai Raden,Tumenggung Kenduruan I.Sedangkan Kyai Demang Arsantaka dari Pagendolan Banjarnegara,diangkat menjadi umbul Demang (Kepala Demang). Selanjumya karena alasan jasa Kyai Arsantaka dalam menemukan jenazah almarhum R.T.Dipoyudo I, maka puteranya yang beranama Kyai Arsayuda telah diambil menantu Kyai Radon Adipati_Yudoneg0ro III dan diangkat menjadi patihnya Radon Tumenggung Dipoyudo II, Ngabehi Karanglewas.
3. Kyai Raden Adipati Yudonegoro III
Melihat Perang Mangkubumen yang tampak mendasyat diJenar Begelen, ternyata pada pembesar VOE menjadi cemas.Maka pimpinan VOE dalam hal ini Harligh mengadakan diplomasi membujuk Pangeran Mangkubumi agar bersedia diajak berunding umuk berdamai. Berkat diplomasinya Hartigh, maka pada tahun 1755, diadakan Perjanjian Gianti. Tepatnya pada tanggal 13 Pebruari 1755, antara Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Paku Buwono III dan Harligh. Para peserta perundingan sepakat, Pangeran Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono III masing-masing mendapat separoh wilayah Mataram. Pangeran Mangkubumi di sebelah barat dengan ibu kotanya Yogyakarta dan
Susuhunan Paku Buwono III di sebelah timur dengan ibu kotanya Surakarta.Tetapi bagi Pangeran Mangkubumi "Palihan Nagari" itu tidak dengan sendirinya diterima gratis. Karena harligh juga menyodorkan kontrak polilik. Yang terpenting : pengangkatan dan pemberhenlian Patih Dalem dan Bupati harus seizin dan bersumpah setia kepada Kompeni. Juga Pangeran Mangkubumi harus menyerahkan Madura dan Pesisir (daerahpantai) utara Jawa yang semula diserahkan Susuhunan Paku Buwono III kepada Kompeni, yang kemudian berhasil direbut 0leh' Pangeran Mangkubumi, dan sebagai ganti rugi setiap tahun VOE membayar 10.000real Spanyol kepada Pangeran Mangkubumi. Akhimya Pangeran Adipati Mangkubumi dinobatkan menjadi Sultan Mataram dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahan berkedudukan diYogyakarla.Adapun yang diangkat menjadi patihnya, dipilih _Kyai Raden AdipatiYudonegoro III Bupati Banyumas, dengan gelar» kanjeng Kyai Raden Adipati Haryo Danurejo I, Patih Kasullanan Yogyakarta yang Pertama.
- Latarbelakang “Perang Mangkubumen” dan dipilihnya K yai Raden Adipati Yudonegoro III menjadi Patih Kasultanan Yogyakarta.Raden Bagus KonLing Mertowijoyo, putera Kyai Raden Adipati Yudonegoro Sedo Pendopo, sejak masa kecilnya telah mengabdikan diridi keralon Kariosuro, dan ielah menjadi leman akrab Raden mas Sudjono atau Pangeran Mangkubumi, saudara lain ibu dari Susuhunan paku Buwono II, sesama putera Susuhunan Prabu Amangkurai IV. Mereka berdua hampir tak pernah berpisah dan seringkali bersama-sama benir akal dan bersemedi di lereng-Iereng gunung Kendeng. Pada masa pemerinlahanSusuhunan paku Buwono II antara tahun 1729-1749, di Mataram inilah terjadi beberapa hura-hura secara berlarut-lurut antara lain Pemberontakan kaum Tionghoa (Perang Geger Paeinan), di seluruh Jawa yang menjalar sampai ke Mataram, juga Perang Perebutan Mahkola dan Pember0n-takan-Pemberonlakan beberapa Pangeran, di antaranya Raden Mas Said,pulera Mangkunegoro yang diasingkan ke Sailan pada lahun 1722. Dengan berkobarnya dan lebih mendahsyamya pemberomakan Radon Mas Said,maka pada akhir tahun 1745, Susuhunan Paku Buwono mengumumkanbahwa barang siapa dapal memadamkan pemberomakan yang dilakukanoleh Raden Mas Said, akan diberi hadiah tanah daerah Sukowali (sebelah Limur laut Surakarta). Di antara para Pangeran dan Bupati,
Lainyala hanya Pangeran Mangkubumilah yang dapat melaksanakan dengan berhasil,walaupun Raden Mas Said dan pembaniu-pembantunya masih dapatmeloloskan diri untuk melanjutkan pemberonLakan-pemberomakannya didaerah lain. nAkan tetapi pada akhirnya karena alas pengaruh hasulan-hasutanPatihnya yaitu Pangeran Adipali Pringgoloyo, Susuhunan Paku BuwonoII tidak menepati janjinya. Hadiah tanahdaerah Suk0waLi yang telahdiberikan kepada Pangeran Aryo Mangkubumi, ditarik kemball dan nanyadilinggalkan 1.000 cacah. Hal inilah yang menyebabkan PangeranMangkubumi sakil hati dan akhirnya seeara diam-diam bersama RadenBagus Konting Merlowijoyo (yang dikemudian hari menjadi Kyai RadenAdipati Yud0neg0r0_III) dan sepasukan perajurit-perajurit yang setia, padaLanggal 19 Mei 1976, lolos meninggalkan Keralon dan kemudian-mengangkat senjata. Mulai saat itulah terjadilah perang yang disebut"Perang Mangkubumen". Kemudian pasukan pangeran mangkubumibergabung menjadi satu dengan pasukan Raden Mas Said. Selama sem-bilan lahun mereka berjuang bersama-sama, Dalam pada itu Raden masSaid diambil menanlu 0leh'Pangeran Mangkubumi.Tersebutlah dalam suaxu pengepungan dan serangan mendadak olehpasukan Kompeni di daerah Gunung Lawu, Pangeran Mangkubumi danpasukannya terpaksa dalam keadaan eerai-berai. Dalam keadaan gelapdan hujan, Pangeran Mangkubumi dapat meloloskan diri dari kepunganmusuh dan dengan selamat dapal sampai di daerah Ngawi, terus menujuke arah J ipang (Rembang). Sedangkan Raden Bagus Konting Mertowijoyotelah terpisah seorang diri. Dalam keadaan yang eerai berai itu, dan telahtexpisah dengan Pangeran mangkubumi, maka timbul niat Raden BagusKonting untuk segera meneari bala bantuan, dan tuj uannya adalah Banyumas.
Di tengah perjalanan menuju ke Banyumas, yaitu kepada ayahnya Kyai Raden AdipaLi Yudonegoro II, Bupati Banyumas, Raden BagusKoming berjumpa dengan Kyai Ronggo Wirosentiko dan juga dengan Raden Aryo Kartowinoto bersama dengan 80 orang pasukannya berkudaakan membamu Pangeran Mangkubumi yang sedang menuju keJipang-Rembang. Kepada kedua mereka ini Raden Bagus Konling herpe-san untuk disampaikan kepada Pangeran Mangkubumi bahwa ia sedangmenuju ke Banyumas unluk minla bala bamuan dari ayahandanya BupatiBanyumas.Tidak dieeritakan dalam perjalana, sesampai di Banyumaskeadaan telah berubah. Kyai Raden Adipali Yudonegoro II telah lamawafat, sedangkan Raden Bagus Koming sama sekali lidak mengetahuiataupun mendengar suatu berila. Yang menggamikan adalah ipamva RadenTumenggung Reksoprojo berasal dari Kartosuro. Dalam kesedihandan kemurungan hati, Raden Bagus Konting lalu menuju ke Banja.rne-gara, ke lempat Kyai Raden Ngabehi Banyak Wide untuk mendapatkelerangan mengenai apa yang telah terjadi.Setelah dieeritakan oleh Kyai Ngabehi Banyak Wide apa yang terjadiselama itu, Raden Bagus Koming lalu melanjutkan perjalanan, berkélanatanpa Lujuan, hingga sampai daerah Eilaeap, kemudian sampai pegunungan Limus Buntu, menyusuri sungai Serayu hingga sampai ke pegunungan Dieng. Selelah istirahat beberapa waktu, dari Dieng Raden BagusKoming rnelanjutkan perjalanan dengan maksud akan menyusul danmenyazukan diri kernbali dengan Pangeran Mangkubumi.Setelah Raden Tumenggung Reksoprojo Bupali M Banyumasdiberhemikan, maka ams usul tiga orang Pangeran kepada SusuhunanPaku Buwono II, yaitu Raden Tumenggung Notoyudo dari Kedu-Bage-len, Raden Tumenggung Arungbinang Honggowongso dan Raden Tu-menggung Rojowami dari Pajajaran, agar yang mengganlikan sebagaiBupati Banyumas, sebaiknya juga salah seorang akhli waris Banyumassendiri. Dan yang idusulkan adalah Raden Bagus Konting Mertowijoyo
putera Kyai Raden Adipati Yudonegoro II Sedo Pendopi, yang ketika itutelah menjadi Mamri Anom di Kraton Kartosuro. Susuhunan menyetujui,akan tetapi berhubung Raden Bagus Konting Merlowijoyo sudahlama meninggalkan Kralon bersama-sama dengan Pangeran Mangkubumi,jadi lidak dikaahui sekarang ada di mana, terkeeuali jika keliga Tu-menggung ilu sanggup meneari dan menemukannya.Ketiga Tumenggung menyanggupi karena mereka mengetahui bahwasebenarnya Raden Bagus Koming Mertowijoyo telah terpisahdengan Pangeran Mangkubumi, ketika terjadi pertempuran dengan pasukanKompeni di Gunung Lawu, dan sedang menuju ke Banyumas. Dalamperjalanan selanjumya dengan maksud untuk menggabung kembali denganpasukan Pangeran Mangkubumi,Radon Bagus Konling bertemu dengan Kyai Raden TumenggungArungbinang Hbnggowongso yang memang sedang menearinya. Iadiminla dan dibawa menghadap Susuhunan Paku Buwono II. Pada mu-lanya Raden Bagus Konling menolak ajakan Raden Tumenggung Arung-binang Honggowongso, akan telapi setelah melalui berbagai penjelasan-penjelasan dan bujukan, akhirnya Raden Tumenggung ArungbinangHonggowongso berhasil dapat menyadarkannya.Kemudian-Raden Bagus Konling Menowijoyo bersedia dan mau diajakmenghadap Susuhunan Paku Buwono II. Dan akhirnya ia diangkat se-bagai Bupati Banyumas ke IX dengan gelar Kyai Raden Adipati Yud0ne-goro III.Di kemudian hari setelah Perang Mangkubumen usai pada tahun 1755dan adanya Perjanjian Gianni, Pangeran Mangkubumi dinobatkan menjadiSultan Mataram dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I, maka yangdipilih menjadi Palihnya adalah Raden Bagus Konting Merlowijoyo (yangsudah bergelar Kyai Radon Adipati Yudonegoro III Bupati Banyumas)dengan gelar Kanjeng Kyai Raden Adipali Aryo Danurejo I, Patih Kasul-tanan Yogyakarta Pertama.

Perang Mangkubumen Part I

Perang Mangkubumen
Terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta

Perang Mangkubumen (Perang Jenar)

Tersebutlah bahwa sampai pertengahan ke akhir tahun 1749, Perang Mangkubumen telah mendahsyat. Pasukan-pasukan Pangeran Mangkubumi yang mendapat bantuan dari Raden Mas Said dan Pangeran Buminoto,hampir dapat menguasai seluruh Mataram dan lalu menuju ke daerah Bagelen (Kedu). Oleh karena itu, maka Susuhunan Paku Buwono III telah memerintahkan kepada para Bupati Bagelen dan Bupali Banyumas, agar mempersiapkan pasukan untuk turut membantu bersama pasukan-pasukan Kompeni.

Pasukan-pasukan Banyumas telah dipersiapkan di bawah pimpinan bawahan, bertindak Raden Kyai Ngabehi Notowijoyo atau Ngabehi Kenduruan I yang memimpin perajurit-perajurit  Dalam.Sedangkan prajurit-perajurit Luar dipimpin oleh Raden Tumenggung Dipoyudo I, Ngabehi Karanglewas, dengan dibantu oleh para Demang,ialah Kyai Arsantaka Demang Pagendolan, Kyai Merloboyo Demang Sigaluh dan Kyai Ronodirono Demang Panggalang Cilacap.Pasukan-pasukan Susuhunan Paku Buwono III dibantu oleh Kompeni di bawah komando Mayor de Clerx dan kapten Hoetje serta perwira bawahan Visser. Pasukan Banyumas segera diberangkatkan ke Panjer (sekarang Kebumen), bersama-sama pasukan Kompeni. Baru semalam di Panjer, keesokan harinya didapat berita bahwa pasukan Mangkubumi dalam jumlah bcsar sedang menuju ke Panjer. Pasukan Banyumas segera diberangkatkan dengan persenjataan yang terdiri dari bermacam-macam jenis hanya sekitar 300 orang.Sesampai di desa Jenar, sebelah barat sungai Bogowonto-Bagelan,bertemulah pasukan Banyumas dengan pasukan Pangeran Mangkubumi dan segera lerjadilah pertempuran.
Dalam menghadapi lawan, pasukan Mangkubumi menggunakan taktik perang gerilya. Dengan taklik ini pasukan Mangkubumi berhasil menjebak sekaligus menumpas pasukan Banyumas yang dibantu Kompeni. Dalam pertempuran tersebut Mayor dc Clerx, Kaplen hotje dan Raden Tumenggung Dipoyudo I gugur pada tanggal 12 Desembcr 1751 (hari Minggu Legi). Sedangkan saudaranya Raden Tumenggung Dipoyudo I ialah Kyai Raden Ngabehi Kenduruan I luka berat terkena lambungnya. Namun masih dapat mcloloskan diri. Pcrajurit-pcrajuril Banyumas banyak yang gugur, dan jenazah  Raden Tumenggung Dipoyudo I hilang, scdangkan serdadu-serdadu Kompeni hanya tinggal bcberapa orang saja yang masih ada, dan 40 serdadu Kompeni yang bersembunyi di desa Ganggeng ditawan pasukan Mangkubumi. '

Masih beersambung...... 

Senin, 12 Oktober 2015

Sejarah Kadipaten Onje Part III

Onje merosot jatuh

Kejayaan Kadipaten Onje  temyata ada batasnya. Apalagi usia sang Adipati semakin lanjut, pelupa, pemarah serta sering melamun, disamping putera-puteranya yang lidak dapal menggamikannya. Pada suatu hari, saat sang Adipali sedang tidur nyenyak, liba-tiba terbangun dikejutkan oleh suara jeritan wanita. Karena terkejut segera ia meloncat menuju ke gandok belakang. Dan apa yang dilihatnya Kedua orang isterinya (Puteri Keling dengan Dewi Medang) sedang berkelahi dengan sengitnya. Melihat  peristiwa ilu, hilanglah kesabaran Sang Adipati. Diambilnya scbuah pedang dan dengan pedang lerhunus itu kedua islerinya ditebaslah le hernya silih bcrganti, sehingga mereka mati terkapar di lanlai. Berita pembantaian ini kcmudian terdengar juga oleh Adipati Cipaku (mertuanya). Karena kemarahannya Adipati Cipaku mengeluarkan pepali (pesan turun-tcmurun) : “Biar sampai kiamat, orang Cipaku dilarang kawin dengan orang Onje”. Pepali itu rupanya masih menjadi kepercayaan disementara masyarakat kedua desa tersebut, dan untuk menangkalnya, dalamupacara peikawinan penganten pria harus membawa Banzeng (lembu jan-tan) umuk disérahkan kepada calon penganten wanita. Akibal’-kematian kedua isterinya ilu, Adipati Onje lama hidup menduda NamUn akhimya menikah lagi dengan seorang puleri dari desa  Arenan Dari pérkawinan ini Adipali Onje menurunkan :
Kyai Yudantaka mempunyai kegemaran berlani, ketika wafat dimakamkan di Kedungwringin Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga. Sedangkan Kyai Arsantaka karena tidak cocok dcngan saudara-saudaranya (putera-puteri Adipati Onje dari isteri terdahulu), terpaksa mcninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran (Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara) lalu diambil anak angkal oleh Kyai Rindik yang scmula bcmama Kyai Wanakusuma.Mcnurul sumbcr Iain mcngatakan, Kyai Arsamaka yang sewaklu masihmudanya bcrnama Kvyai Arsakusuma adalah putcra (bukan anak angkat)dari Kyai Wanakusuma kcturunan Kyai Ageng Giring, dan Kyai Wanakusuma ini yang bcralih nama Kyai Rindik.
Kyai Arsantaka, setelah puteranya yang ke 3 (tiga) ialah
 Kyai Arsayuda menjadi Tumcnggung di Karanglewas, dengan gelar RadenTumenggung Dipoyudo III, lalu menyarankan kepada puleranya RadenTumenggung Dipoyudo III, ilu agar pusat pcmerimahan dipindahkan dari Karanglewas ke desa Purbalingga.
2. Raden Tumenggung Dipoyudo III
Kyai Pranadipa dcngan isteri Raden Ayu Angger atau Raden Ayu Sepuh menurunkan :
(1) Raden Mengunyudo, yang kcmudian menjadi Ngabehi Karanglewas,dcngan gelar Raden Tumcnggung Dipoyudo I
(2) Nyai Merden, yang kemudian mcnjadi isleri.Kyai Arsantaka, Demang Pagendolan-Banjarnegara
Raden Mangunyudo berkedudukan di Merden-Banjarnegara. Menikah dengan puteri dari Raden Ngabchi Mertoyudo II, yang setclah menjadi Bupati Banyumas bergelar Kyai Adipati Yudonegoro I atau Tumenggung Seda Mesjid.
3.. Radon Mangunyudo dengan isteri puteri dari Kyai Raden Adipati Yudonegoro II, menurunkan :
(1) Raden Bagus Luwar alau Radon Kerloyudo
(2) Radcn Bagus Somad alau Raden Surodipo di desa Kuripan
(3) Raden Bagus Muksin atau Raden Dipomenggolo, menjadi Ngabehi Soka Kebumen.

Nyai Merden yang dipcristri oleh Kyai Arsantaka, Dcmang Pagandolan Banjarnegara, menurunkan putcra-putera seperti telah dijelaskan di halaman muka. Raden Mangunyudo semula berkedudukan di Merden- Banjamegara, oleh Susuhunan Paku Buwono II pada tanggal 26 Pebruari 1749 diangkat menjadi Ngabehi Karanglewas, dengan gelar Raden Tumenggung Dipoyudo I dan berkedudukan di Karanglewas. Selama Raden Tumenggung Dipoyudo I menjabat Ngabehi Karanglewas mengalami Perang Mangkubumen”

Sejarah Kadipaten Onje Part II


 Sejarah Kadipaten onje, kadipaten Arenan, dan babad cahyana terkait satu sama lainya
Setelah mencapai usia senja, Syekh Wali Rakhmat lalu kembali pulang ke negerinya. Pimpinan daerah Rajawana diserahkan kepada putera sulungnya bemama Pangeran Makhdum Kusen. Konon pada suatu hari Pangeran Makhdum Kusen pernah dipanggil oleh Adipati Onje. Panggilan itu tidak jelas apa sebenamya yang dimaksud. Maka Pangeran Makhdum Kusen rnenolaknya untuk datang menghadap kc Kadipaten Onje, dengan alasan meskipun desa Rajawana termasuk kekuasaan Kadipaten Onje, namun desa ini hakekamya adalah milik,Allah s.w.t, Dan di desa ini Pangeran Makhdum Kusen tidalc akan berbuat suatu kejahatan terhadap siapapun juga, apalagi terhadap seorang Adipati. Apabila sang Adipati menghendaki berlemu, maka djpersilahkan datang saja ke desa Rajawana. Pangeran MakhdumKusen bersedia menerima dan menemuinya dengan senang hati. Namun penolakan itu dianggapnya oleh Adipati Onje suatu penghinaan. Atas kemarahannya adipati Onje lalu mengirim pasukan untuk menangkap Pangeran Makhdum Kusen. Akan tetapi sial, sebelum para prajurit pasukan Kadipaten Onje memasuki desa Rajawana, hari keburu malam hari (sudah kemalaman). Akhirnya kedafangan pasukan Kadipa Len Onje ini dapat diketahui oleh masyarakat Rajawana Lermasuk pangeran Makhdum Kusen sendiri.
Oleh karena itu Pangeran Makhdum Kusen mengumpulkan beberapa orang wanita, agar membunyikan rebana di serambi muka. Sedangkan ia sendiri melakukan shalat hajat di dalam kamar. Bersamaan dengan terdengarnya suara rebana tadi, ribuan ekor tawon gang dengan secara tiba-tiba dan serempak terbang menyerang dan melabrak perajurit-perajurit Kadipaten Onje, yang tengah mempersiapkan tempat untuk bermalam di tepi salah sebuah sungai. Karena tak tahan menghadapi binatang-binatang bersengat Lersebut, terpaksa mereka lari tunggang langgang dan pulang kc kadipaten Onje. Penabuhan rebana ini hingga sekarang disebut ”Braen” yang merupakan kesenian khas desa Rajawana dan sekitarnya. Pangeran Makhdum Kusen yang terkenal pula dengan nama Pangeran Kayu Puring, menurunkan putera bemama pangeran Makhdum jamil. Pangeran Makhdum Jamil menurunkan dua orang putera, masing -masing :
(1) Pangeran Makhdum Tauret, yang dimakamkan di Bogares-Tegal
(2) Pangeran Makhdum Wali Prakosa, yang dimakamkan di desa Pakiringan-Purbalingga

Pangeran Makhdum Wali Prakosa, tegakkan Mesjid Demak
Konon diceritakan bahwa sewaktu Mesjid Demak selesai dibangun, Sunan Bonang tertegun bingung. Mesjid yang baru didirikan itu temyata miring. Untuk membongkar kembali sulit, umuk menegakkanpun tak gampang. Bukan hanya Sunan Bonang yang tertegun.Wali lain yang berjumlah sembilan itu juga ikut bingung. Di tengah kebingungan itu, muncullah seorang santeri bertubuh kerempeng mengangkat tangan. “Hal bocah Cahyana, nampaknya kau mau usul?” tegur Sunan Bonang. Yang dimaksud “bocah Cahyana” adalah santeri muda namanya Makhdum asal perbukitan Cahyana wilayah Purbalingga bagian timur laut. "Bagaimana kalau hamba jadi palu, sedangkan yang Mulia para Wali menjadi ganden? Insya Allah mesjid dapat menjadi tegak,” sahut santeri kerempeng itu. Sunan Bonang terdiam, semua diam, Sultan Trenggono yang  di dekat tempat itupun terdiam. Apa' yang kau maksud, Makhdum?" tanya Sultan Trenggono. “Bila paduka berkenani para wali Sembilan berdoa, saya yang mengamini. Semoga Tuhan memberi kekuatan,” jawab Makhdum. Baiklah, kita laksanakan,” ujar. Sultan Trenggono. Para Wali Sembilan ilu berdoa, si santeri kerempeng dari Cahyana itu mengamini, namun  tak satupun tiang-Liang mesjid itu bergerak : “Bagaimana, Makhdum? Tukas Sultan. “Ampun, Sinuwun, kalau Sinuwun berkenan, ijinkanlah hamba yang berdoa, para Wali Sembilan yang mengamini, dengan menyebul asma Allah, insya Allah mesjid dapat menjadi legak.” jawab bocah Cahyana itu. Sultan Trenggono segera memberikan restu. Sambil memegangi tiang masing-masing buatannya, mesjid Demak dapat berdiri tegak. Semua mengucapakn puji syukur. “Keperkasaan itu berkal doamu, hai Makhdum. Maka kau kuberi gelar Wali Prakosa. Tugasmu meng-Islam-kan para kawula di lereng bukit Cahyana,” ucap Sultan Trengggno. Nah, pemuda Cahyana yang bemama Makhdum itu dikenal sebagai Wali Prakosa. ia menjadi penyebar agama Islam di belahan timur Purbalingga kembalinya dari Demak, Makhdum Wali Prakosa mendiri- kan pondok pésantren di hamparan Igir Cahyana yang kemudian disebut Pakeringani yang artinya tempat yang dimuliakan. Ucapan tersebui akhimya berubah menjadi Pakiringan, sekarang menjadi ibukota Kecamatan Karangmoncol.

Makhdum Wali Prakosa semakin mempunyai banyak santeri yang datang dari berbagai penjuru. Tanah Perdikan sebagai hadiah "Sinu-wun Sultan Trenggono, digunakan untuk kemakmuran rakyat. Seking banyaknya santeri yang datang dari jauh, Wali Prakosa selalu menasehalkan képada para pawongannya, agar gemar memberi makan kepada para santeri itu :
"Tak baik apabila pawongan di sini menjual nasi?' Akan tetapi berikanlah secara sukarela", demikian nasehatnya. Dari nasehai itu temyala menjadi pepali (sesuatu yang dilarang) bagi penduduk pakiringan, sampai seka- rang jarang kita temukan warung nasi di kota Kecamatan ini. Walaupun kita akui, sudah mulai ada yang melanggar pepali tersebut. Dilarang menjual nasi agar memberi suka rela kepada para santeri agar mereka tenang menuntut ilmu. Nasi tidak mereka jual, tetapi ketupat atau Iontong boleh. Babad dan sejarah Purbalingga tidak mcnyebutkan secara terperinci. hanya disebutkan Wali Prakosa adalah keturunan Syekh Atas Angin, seorang wali yang datang dari negeri Parsi, dcngan sebutan Syehk Wali Rakhmat. Konon Syekh Wali Rachmat yang bcrhasil mengIslamkan seorang pertapa putera Pajajaran, yang Lengah mencari “nur” (cahaya). Dia kemudian dikenal dengan sebutan Syekh Jambu Karang yang memiliki penignggalan Ardi Lawet, tempat pasujarahan yang paling ramai di eks Karesidenan Banyumas. Ardi Lawet termasuk desa Panusupan, Kecamtan Rembang, Kabupalen Purbalingga.   ~ ..
Demikian kisah yang bersumber dari buku kuno huruf-’Jawa tulisan tangan yang disodorkan Ki Wiryatmi (57), juru kunci makam Wali Prakosa didesa Pakiringan, Kecamalan Karangmoncol, Kab Purbalingga; Ki Wiryatmi menjelaskan, bahwa Ia menjadi juru kunci makam Wali Prakosa merupakan jabatan warisan ayahnya. Ayahnyapun menerima kedudukan warisan dari neneknya. Pangeran Makhdum Wali Prakosa mcnurunkan 2 (dua) orang putera,yaitu :
(1) Kyai Singayuda, Adipati Arenan (Kecamatan Kaligondang Kabuputen Purbalingga)
(2) Pangeran Astri, yang menikah dengan putera Sunan Kudus, atau Icbih dikenal dengan sebutan Santri Gudig yang makamnya di Cilacap.
Kyai Singayuda menurunkan seorang pulera-puleri yaitu :
1.     Nyai Tegal Pingen atau Pertiwati, diperisteri oleh Raden Tumenggung Dipayuda III, Bupati Purbalingga ke I (pertama) tahun 1759-1787.

2.     Pertimasa, yang wafat dalam pertempuran mempertahankan Kadipaten Arenan yang di serah oleh Kadipaten Onje, karena tipu muslihat Adipati Onje
bbersambung........................................

Minggu, 11 Oktober 2015

Sejarah Kadipaten Arenan



Sejarah Kadipaten Arenan
Sulit sekali menggali sejarah Desa Arenan, dari beberapa sumber artikel dan buku sejarah serta cerita orang tua di dapati sejarah yang berbeda versi, saya akan uraikan sebagai berikut :
  1. Asal Usul Nama Desa Arenan
Nama Desa Arenan menurut beberapa cerita berasal dari kata Arengan, mungkin karena turun temurun yang berabad abad kata Arengan berubah menjadi Arenan, jika kita tilik versi “kayane” jika arenan di kaitkan dengan kumpulan pohon arena, namun kita ketahu di arenan jarang sekali di temukan pohon aren, yang lebih masuk akal adalah dari kata Arengan yang ceritanya konon di desa arenan pernah terjadi kejadian pembakaran penjahat hingga menjadi areng, tempatnya di dukuh sambeng di sebelah barat SD negeri 1 Arenan, karena peristiwa tersebut konon siapaun yang masuk ke wilayah desa arenan akan kehilangan ilmu kesaktiannya. demikian sekilas asal usul nama desa Arenan, semoga bermanffat dan jika ada kesalahan harap maklum
  1. Adipati Kadipaten Arenan
Tidak ada yang tahu kapan Kadipaten Arenan berdiri, dalam buku sejarah atau artikel lain tidak di temukan, namun ada yang bercerita bahwa pada tahun 1218 telah wafat orang kepercayaan Adipati Arenan yaitu ki adeg ulung, ki adeg ulung mengabdi di kadipaten arenan sebagai panglima perang, yang asalnya dari daerah parihyangan bandung menyelusuri pantai selatan, pernah tinggal di jogya, ke magelang dan akhirnya ke barat menuju Kadipaten Arenan, menurut cerita ki adeg ulung juga mempunyai saudara yaitu ki lanang jagad yang di makamkan di hutan jati rawalo banyumas, kita kembali ke adipati arenan, setelah di cari dari beberapa sumber di temukan nama adipati arenan yaitu : Singa Braja, Adi Wiguna, Adi Ningrum, Singayuda/Kerta Bangsa, Setelah di gali cuma di dapatkan sejarah tentang Adipati Singayuda, yang merupakan anak dari Syeh Makdum Wali Prakosa (Pekiringan), Cucu dari syeh Maqdum Husein (Karang Moncol) Buyut dari Syeh Maqdum Jamil (karang moncol) Bao dari Syeh Natas Angin/Syeh wali Rahmat/ Syeh Magrobi (Persia)
  1. Kisah Ikan/Iwak Tambra
Disini akan kami tuliskan sejarah ikan/iwak tambra versi 2, versi sebelumya sudah di tulis di page sejarah arenan, versi ini hampir sama namun berbeda sudut pandang yaitu :
Semasa pemerintahan Adipati Singayuda, daerah Kadipaten Arenan (Sekarang Kec. Kaligondang) pernah mengalami gangguan keamanan yang membuat ketakutan, kegelisahan, kemarahan dan kebencian dikalangan masyarakat. karena adanya perebutan kekuasaan untuk menempati kedudukan menjadi Adipati Arenan menggantikan Adipati Singayuda, perselisihan itu antara Putra kandung adipati singayuda dan putra mantu yaitu adipati onje.
Pretimasa terkenal sebagai seorang yang sakti mandraguna, sehingga tak seorang pun diantara tentara dari addipati onje berani melawannya. Kesaktiannya pernah dibuktikan, pada suatu hari ia ditangkap secara beramai-ramai oleh tentara onje kemudian dibunuh dan mayatnya dipotong-potong. Tetapi apa yang terjadi? Pretimasa ternyata hidup kembali, setelah potongan-potongan mayatnya dimasukan ke dalam liang kubur. Sungguh sangat menakutkan. Malah secara membabi buta, Pretimasa terus mengamuk yang menimbulkan lebih banyak korban baik dikalangan tentara kadipaten onje.
Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan adipati onje Dikerahkan lagi semua tentara onje untuk menangkap dan membinasakan penjahat itu. Melihat keadaan kurang baik, Pejuang Adipati Arenan itu teraksa melarikan diri bersembunyi kedalam sebuah batu yang dikenal dengan “Watu Wedus”. Barulah disini ia merasakan dirinya aman, karena tak seorangpun berani memburunya.
Setelah lama para tentara onje berjaga disekitar batu itu kemudian seorang diantara mereka ada yang menemukan siasat. Untuk menangkap Pretimasa tak ada jalan lain kecuali minta bantuan kepada Nyai Adipati (Isteri Adipati Onje).
Karena dimintai pertolongan, segera Nai Adipati datang mendekati pintu wedus tersebut, membawa nasi bersama lauknya yaitu pindang ikan tambara yang menjadi kegemaran Pretimasa.
Dengan tutur kata yan lemah lembut sebagai tipu muslihat, Nyai Adipati memanggil Saudara kandungnya yang sedang bersembuni didalam watu wedus itu. Semula tidak mau memenuhi panggilan itu, tetapi sesudah diberi tahu bahwa disekitar batu tersebut tak ada seorangpun, maka Pretimasa segera keluar dari tempat persembunyiannya. Kedua orang bersaudara itu terus saling berpelukan sebagai pelepas rasa rindu.
Terdorong oleh rasa letih dan lapar, segera Pretimasamemakan kiriman nasi bersama pindang ikan tambara dengan lahapnya. Namun sama sekali ia tidak menduga, bahwa ratusan pasang mata sedang mengintai dari balik gerumbulan disekitarnya. Begitulah tatkala Pretimasa tengah menikmati nasi dengan pindang ikan tambaranya, tiba-tiba ratusan orang tentara onje secara serempak menubruknya. Melihat keadaan berbahaya ini, Pretimasa berusaha menyelamatkan diri masuk kedalam watu wedus kembali. Tetapi ia gagal, karena lubang watu wedus tertutp diduduki oleh Nyai Adipati. Akhirnya secara ramai-ramai Pejuang Kadipaten Arenan itu dihajar tentara onje.
Sesaat sebelum menemui ajalnya, Pretimasa sempat member pesan (pepali), bahwa karena tidak tahu saudara, maka orang-orang Arenan dikelak kemudian dari keturunannya pada saanya mempunyai cacad “rimang” (penglihatannya kuran jelas). Selain itu orang-orang Arenan yang bertempat tinggal di sebelah barat dan timur kali, dilarang makan pindang ikan tambara. Kalau pesan ini dilanggar menurut Pretimasa, pasti bisa mendatangkan malapetaka. Salah-salah bisa mati, pesan tersebut memang hingga sekarang masih menjadi kepercayaan turun temurun di sementara penduduk desa Arenan. Apakah selamanya pesan itu akan ditaati?
Akhirnya mayat Pretimasa kembali dipotong-potong dan masing-masing potongan dikubur diberbagai tempat secara terpisah. Diantaranya ada yang dikubur di Arcatapa, Pagedongan, Siwedus, Setana Wangi dan dipekuburan Makam dawa.
cerita ini menjadi pertimbangan mengapa Adipati Singayuda makamnya di Desa Onje bukan di Arenan karena pada peristiwa diatas Adipati Singayuda menjadi tawanan di adipati Onje hingga wafat, sekarang kita mempercayai pertimasa itu penjahat, apakah itu benar atau malah pertimasa yang ingin menjaga keutuhan adipati arenan, setelah peristiwa itu sejarah arenan lenyap, warga arenan hanya tau sejarah hingga eyang ardanom dan R. Wangsadirana dari kasultanan Demak Bintoro
  1. Kisah Ki Adeg Ulung
Ki adeg ulung
Ki adeg ulung atau yang sering di sebut oleh masyarakat desa arenan dengan sebutan kyai adeg, ada beberapa versi cerita tentang ki adeg ulung kenapa di namai ki adeg/ kyai adeg :
1. Versi pertama adalah : Konon desa arenan di jaman dulu terjadi wabah penyakit yang mematikan, yang tiap harinya masyarakat desa arenan ada yang meninggal, hingga ki adeg bersedia menjadi tumbal agar wabah penyakit tersebut berhenti yaitu dengan cara di kubur hidup hidup secara berdiri ( dalam bahasa jawa berdiri = adeg) jadi namanya ki adeg
2. versi kedua adalah : karena kesaktian ki adeg hingga ratu pantai selatan nyai roro kidul terpikat pada ki adeg, namun karena perbedaan alam ki adeg tidak merespon nyai roro kidul hingga terjadi adu kesaktian, namun ki adeg kalah dalam pertarungan tersebut, karena merasa belum sakti ki adeg bertapa di bawah pohon laban di dekat sawah secara berdiri di galian tanah selama 40 hari tidak makan tidak minum, namun belum selesai 40 hari ki adeg meninggal, karena tapa secara berdiri tersebut di namai ki adeg
ki adeg di makamkan di komplek cilwek desa arenan kecamatan kaligondang, ki adeg adalah pendatang dari pejajaran, ki adeg mempunyai saudara yang bernama ki lanang jagat, yang di makamkan di hutan jati rawalo banyumas
Kutukan Ki Adeg Ulung
Kutukan ini mungkin berbunyi ” Sadurunge ana sing lewih pinter saka aku (ki adeg ulung) maka desa arenan anget anget tahi ayam” yang di dapat di artikan bahwa sebelum ada yang lebih pintar dari ki adeg ulung maka kehidupan desa arenan akan biasa biasa saja, masyarakat desa arenan rejekinya pas pasan, yang lebih kelihatan adalah ketika terjadi atau mengadakan sesuatu makan cuma bertahan sebentar, mungkin ini arti dari anget anget tahi ayam, contoh dalam kepemudaan dengan serentak pemuda bisa berkumpul menjadi satu membentuk karang taruna namun setelah beberapa waktu langsung vakum, ya mungkin arti dari lebih pintar dari ki adeg adalah arti kiasan, bisa saja artinya lebih taat dalam agama, tidak sombong, tawasul ke leluhur desa yang selama ini masyarakat desa arenan kurang tahu siapa pendiri dan leluhur desa arenan

Sejarah Kadipaten Onje Part I

SEJARAH KADIPATEN ONJE
a. Ki Tepus Rumput
Pada zaman kekuasaan Kerajaan Pajang, yang memerimah adalah Sultan Hadiwijoyo Kamidil Ngalam Pranatagama tahun 1546-1582, dan pada masa itu di Pengalasan Kulon (di lereng gunung Slamet sebelah tenggara) terdapat seorang laki-laki bemama Ki Tepus Rumput. Tak seorangpun yang mengetahui asal-usul orang tersebut. Tetapi menurut cerita sementara orang, bahwa ia adalah seorang yang ditempatkan di lereng gunung Slamet, oleh Syehkh Bakir, agar beranak-cucu untuk merubah hutan Pengalasan Kulon menjadi sebuah pedesaan/pedusunan, namun sebelum sempat mempunyai keturunan, isteri Ki Tepus Rumput meninggal dunia. Akibat kematian isterinya, bathin Ki Tepus Rumput sangatlah menderita, dan kehidupan sehari-harinya menjadi tidak tentram, karena selalu teringat isteri yang tercinta. Tubuhnya semakin hari semakin kurus kering, wajahnya pucat pasi. Matanya dan pipinya menjadi cekung. Rambut dan janggut yang tak terurus lagi menjadi lebat panjang. Kulit mukanya menjadi kisut, amat lesu dan tampak lebih tua dibanding dengan usia sebenarnya.
 Pada suatu malam ia sedang duduk di bawah sebuah pohon jati di téngah hutan. Kedua telapak tangannya ditutupkan erat erat pada wajahnya untuk menahan rasa sedih di dahinya. Sesaat melepaskan tangannya ia sangat Lerkejut, karena telihat di depannya ada sebuah bayangan yang menycrupai manusia berjanggut panjang mengenakan jubah putih. Lebih   terkejut lagi ketika bayangan itu bersuara, yang maksudnya agar Ki Tepus Rumput mencari cincin permata Soca Ludira yang terdapat di sekitar di bawah pohon jati itu. Bayangan yang mengaku dirinya bemama Kyai" Kantharaga itu, mengaku juga sebagai eyang (kakek) dari Ki Tepus Rumput sendiri. Pesannya bila cincin ilu Lelah diketemukan, agar segera diserahkan ' kepada Sultan Pajang. ' :
Ki Tepus Rumput menjadi bingung dan heran. Semula suara bayangan ‘tadi dianggap tidak masuk akal. Terdesak oleh perasaan bingung, ia berjalanmondar - mandir sambil mengumpulkan batu - batu yang berserakan di sekitar pohon jati . Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi dengan mempergunakan kapur sirih. Tempat dimana batu itu dikumpulkan, sampai sekarang dikenal sebagai desa BataPutih. Setelah lama mencarinya, akhirnya’cincin itu berhasil di temukanjuga. Segera Ki Tepus Rumput meninggalkan tempat itu untuk pergi kePajang, guna menyerahkan cincin temuannya kepada Sultan Pajang, sesuai dengan pesan Ki Kantharaga.
b. Raden Adipati Ore-Ore
Selelah sampai di Pajang, Ki Tepus Rumput langsung menghadap Sultan Hadiwijoyo menyampaikan cincin hasil temuannya. SultanHadiwijoyo sangat terkejut campur haru, saat menerima kembali cincin Soca Ludira dari Ki Tepus Rumput. Memang sejak hilangnya cincin Soca Ludira itu, Baginda Sultan mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yangmenemukan cincin Soca Ludira, bila ia seorang pria akan diberi selir yang tercantik. Sebaliknya bila si penemu wanita, ia akan diberi hadiah istimewa yaitu dijadikan isteri Sultan sendiri..Namun sejauh itu tak seorangpun di amara rakyat Pajang yang dapat menemukan kembali cincin tersebut. Temyata yang dapat berhasil menemukan adalah Ki Tepus Rumput, seorang laki-laki yang berasal dari Pengalasan Kulon yang jauh letaknya dari Pajang. Dengan demikian ia berhak menerima hadiah selir tercantik dari Sultan Pajang.Selain itu Ki Tepus Rumput di beri pula gelar Adipati dan diangkat menjadi pimpinan di wilayah Pengalasan Kulon di lereng gunung Slamet yangfermasuk kekuasaan Pajang. Ia lalu bergelar Raden _Adipati Ore Ore danberkedudukan di desa Onje.
 Pemberian hadiah selir tercantik inipun disertai janji, agar Raden Adipati 'Ore Ore (Ki Tepus Rumput) jangan dulu menggaulinya’, mengingat wanita itu sedang mengandung selama empat  bulan. Larangan “bergaul” sebagai suami-isteri ini Lidak berlaku lagi setelah kelak kemudian hari bayi dalam kandungan dilahirkan. Dengan penyerahan salah seorang selir tercantik sebagai hadiah, berarti menunjukkan kebesaran jiwa yang sungguh-sungguhdari seorang Sultan yang tidak dapat berubah atau dengan perkataan lain: “Sabda Pandita Ratu".Dalam perjalanan ke Pengalasan Kulon, Raden Adi Pali Ore Ore mendapat pengawalan Ketat dari perajurit-perajurit Pajang di bawah pimpinan seorang bernama Puspajaya. Selain senjata para perajurit itu juga membawa alal-alat pertanian serta bibit tanaman guna membuka lahan pertanian baru di Pengalasan Kulon. Di tengah hutan mereka mendapat gangguan dari seorang bekas pengikut  Haryo Penangsang, yang menamakan dirinya Jala Sutra atau Putra Jala. Setelah gagal membujuk Puspajaya agar menyerahkan puteri yang dibawanya, Jala Sutra kemudian berusaha merampasnya dengan kekerasan. Namun berkat kejujuran,keberanian dari ketangkasan Puspajaya, akhirnyar penghadang itu berhasil dapat disingkirkan.Begitulah setelah mengalami gangguan dan kesulitan, sampailah perjalanan mereka di Pengalasan Kulon dengan selamat. Mereka lalu membuka pemukiman baru untuk tempat tinggal, serta menanam bibit buah-buahan yang dibawanya dari Pajang. Akhimya Pengalasan Kulon berubah  menjadi pemukiman baru, menjadi desa baru dengan nama desa Surti.
Konon nama itu berasal dari perkataan Surputeri yang artinya “lungsuranputeri” Mula-mula desa Surti itu berpenduduk sedikit, hanya terdiri dari beberapa orang saja. Belakangan banyak penduduk desa lain yang berdatangn ke sana. Mereka hidup bertani dan selanjutnya menetap di desa yang‘ baru dibuka itu. Dengan demikian keadaan desa Surti itu bertambah ramai serta maju dalam bidang pembangunan di segala bidang kehidupan,berkat kegiatan rakyatnya dengan bantuan perajurit prajurit Pajang.
c. Raden Hanyokro Kusumo Adipati Onje
Beberapa bulan kemudian setelah bermukim di desa Surti Nyai Ore Ore (bekas selir Sultan Hadiwijoyo, yang telah menjadi iste'ri Adipati Ore Ore), melahirkan seorang bayi pria. Bayi mungil itu lalu dibawa ke Pajang untuk diperlihatkan kepada Sultan Hadiwijoyo, dan oleh Sultan'Hadiwijoyo diberi nama Raden Hanyokro Kusumo, atau nama panggilan Jimbun Lingga. Karena belum cukup usia, maka jabatan Adipati sementara masih dipegang oleh Raden Ore Ore. Sedangkan rumah Kadipaten didirikan di sebelah barat sungai Klawing yang kemudian diberi nama Onje (sekarang 'termasuk Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga).Beberapa tahun setelah Raden Hanyokro Kusumo cukup dewasa dan dipandang mampu memegang tampu kepimpinan Kadipaten, Raden Hanyokro Kusumo menerima pelimpahan jabatan Adipati dari Raden Adipat ore Ore. Ia kemudian bergelar Raden Adipati hanyakrapati, sebagai seorang pimpinan Kadipaten yang berkedudukan di desa Onje.Raden Adipati Hanyakrapati menikah dengan puleri Keling dari JawaBarat. Selain itu juga menikah dengan puteri Adipati Cipaku bemama Rara Pakuwati. Kedua orang isteri itu tinggal bersama serumah di rumah Kadipaten Onje. Kehidupan sehari-hari kedua isteri kelihatanrukun. Namun sebenarnya dalam bathin mereka masing-masing tersimpan rasa cemburu dan rasa perselisihan.
Dari pemikahannya dengan puteri Keling  tidak menurunkan seorang putrapun. Sedangkan dengan Rara Pakuwati yang dikenal dengan nama Puleri Medang, Adipati Onje menurunkan dua orang putera dan seorang puteri, yakni :
(1) Raden Mangunjaya alias Mangunnegara
(2).Raden Citrakusuma . 1
(3) Rara Banowati
Oleh masyarakat setempat nama-nama tersebut : Mengunnegara, Citra-kusuma dan Banowati telah diabadikan menjadi nama-nama desa yang sekarang termasuk Kecamatan Mrebet. Rara Banowati menikah dengan seorang Arab bemama Sayid Abdullah, yang diserahi jabatan Penghulu merangkap Imam Mesjid desa Onje.
D,  Perkembangan Agama lslam
Saat pemerintahan Kadipaten Onje mencapai puncak kejayaannya,banyaklah kaum pedagang yang berkunjung kesana, untuk mencari nafkah sambil menyiarkan agama Islam. Mereka bergerak ke pelosok-pelosok yang jauh dari keramaian dan tinggal berbulan-bulan, bahkan ada yang terus menatap serla menikah dengan penduduk setempat. Selama bergaul dengan penduduk itulah mereka mempunyai peluang umuk menyiarkan agama Islam.Di antara para pendatang itu terdapat seorang putera Pajajaran bernama Raden Liman Sujana, yang oleh masyarakat setempat lazim disebut Raden Imam Sujana. Ia sebenarnya mempunyai hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Pajajaran. Tetapi kedudukan itu ditolaknya setelah diketahui bahwa Pajajaran sedang mengalami keruntuhanakibat pengaruh Islam. Karenanya lalu ia meninggalkan Pajajaran pergike Banten berlapa di bawah pohon jambu di lereng gunung Karang, Dari tempat pertapaan inilah Raden Imam Sujana melihat adanya "nur" yang memancarkan sinarnya jauh di ujung timur. Segera ia beranjak dari pertapaannya, menuju ke timur dengan menyusuri pulau Jawa sebelah utara.
Setiba di daerah Tegal, ia membelok ke selatan di mana "nur" itu tampak dekat sekali.Di tengah hutan di gunung Munggul, bukannya ia menemukan “nur” yang semula tampak dekat sekali,
tetapi malah bertemuan dengan seorang bemama Ki Kelun sedang memanjat pohon enau sambil menggendong anaknya yang masih kecil, bemama Rubiah Bhakti. Ki Kelun mengaku berasal dari desa Wanakasimpar, yang kemudian diganti namanya menjadi Pamidangan dan sekarang namanya desa Rajawana. Ki Kelun adalahseorang duda yang ditinggal mati isterinya.Sambil menggendong Rubiah Bhekti, Ki Kelun memanjat pohon enau unluk mengambil nira.Kasih sayangnya kepada puterinya itu sangat besar,sehingga kemana saja KiKelun pergi selalu puterinya berada dipunggungnya. Karena merasa iba dan kasihan,Raden  Imam Sujana mengambil Rubiah Bhakti sebagai anak angkat.Setelah bertahun-tahun tinggal di hutan itu datang lah suatu hari seorang Arab bernama ,Syekh WaliRakhmat. péndatang barui mengaku akan mengIslamkan tanah J awa. Kehadiran Syeh ini temyata membuat hati Raden Imam Sujana tidak senang. Maka sebelum ia meng-Islam-kan tanah Jawa,Raden Imam Sujana ingin mengetahui dahulu, sampai di mana kemampuan  Syekh Wali Rakhmat itu. Untuk membuktikan kepandaiannya,masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Tetapi Raden Imam Sujana akhimya mengakui keunggulan ilmu Syekh Wali RakhmaL Atas keungguIan itu Syekh Wali Rakhmat secara bijaksana mcminta agar Raden ImamSujana barsedia menganut agama Islam. Hal ini oleh Raden Imam Sujana dipenuhinya. Bahkan anak angkatya Rubiah Bhakti yang sudah menginjak dewasa, dinikahkan dengan Syekh Wali Rakhmat.Setelah Raden Imam Sujana menganut agama Islam, lalu bergaminama menjadi Syekh Jambu Karang.Nama ini mungkin ada kaitannya karena ia telah bertapa di bawah pohon jambu di bukit Karang Banten.Hutan di mana Raden Imam Sujana bertahun-tahun tinggal di situ, disebutdesa Cahyana. Mereka lalu jijrah dan menetap di desa Rajawana, yang hingga sekarang merupakan pusat para santeri di Kabupaten Purbalingga.Syekh Jambu Karang setelah wafat dimakamkan di desa panusupanKabupalen Purbalingga, yang sampai sekarang terkenal dengan sebutanmakam Ardi Lawet. Syekh Wali Rakhmat dalam pernikahannya denganNyai Rubiah Bhakti, menurunkan : '
(1) Pangeran Makhdum Kusen, yang dimakamkan di desa Rajawana
(2) Pangeranmakhdum Medem, yang dimakamkan di Cirebon
(3) Pangeran Nakhdum Umar, yang dimakamkan di pulau karimunjawa
(4) Nyai ,Rubiah Razak, yang dimakamkan di Ragasela-Pekalongan

(5) Nyai Rubiah Sekar, yang dimakamkan di Jembangan Gunung Wuled.

Berdirinya Kabupaten Banyumas

Sejarah Berdirinya Kabupaten Banyumas
Kedua Tumenggung utusan Sultan Hadiwijoyo kembali ke Pajang, dan menghaturkan, bahwa karena suatu kesalahpahaman antara mereka berdua, maka perintah Sultan kepada Tumenggung yang pertama I lelah terlanjur terlaksanakan. Akibatnya Kyai Raden Adipati Wirasaba telah wafat. Mendengar laporan kedua utusan tadi, Sultan Hadiwijoyo amat murung dan sangat menesal atas segala keputusan dan tindakan-tindakannya yang tanpa penelitian terlebih dahulu. Oleh karena itu maka segera dititahkan untuk memanggil para putera dan segenap ahli waris Kyai Raden Adipati Wargohutomo agar datang menghadap ke Pajang. Panggilan ini dengan maksud untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga Adipati Wirasaba.
Akan tetapi tak seorangpun di antara para akhli waris Adipati Wirasaba yang berani menghadap ke Sultan Pajang, karena takut akan mendapat hukuman raja. Akhirnya atas musyawarah bersama, R. Joko Kauman sebagai putera menantu almarhum Kyai Radcn Adipati Wargohutomo memberanikan diri untuk menghadap Sultan Pajang. Di luar dugaan ternyata R. Joko Kauman oleh Sultan Hadiwijoyo malah dianugerahi kedudukan menjadi Adipati Wirasaba yang ke III untuk menggantikan. Kyai Raden Adipati Wargohutomo I dcngan gelar Kyai Raden Adipati Wargohutomo II, dan segala kebijaksanaan Kadipaten Wirasaba diserahkan kepadanya.
Selelah Kyai Raden Adipati Wargohutomo II kembali ke Wirasaba, dan diberi wewenang penuh oleh Sultan Pajang, ia menyadari, bahwa yang sebenarnya berhak menjabat pimpinan kadipalcn Wirasaba adalah saudara-saudara dari islerinya. Oleh karena itu atas keluhuran budinya ia tidak ingin mulia sendiri, dan mcnguasai Kadipaten Wirasaba sendiri.
Kadipatcn Wirasaba lalu dibagi mcnjadi 4 (empat) daerah kepada ipar-iparnya, para putera Kyai Raden Adipati Wargohutomo I almarhum. Keempat daerah itu masing-masing adalah :
(I)Daerah Wirasaba, diserahkan kepada Kyai Ngabehi Wargowijoyo, putera ketiga,
(2) Daerah Merden (sekarang masuk Kecamatan Klampok-Banjarnegara), diserahkan kepada Kyai Ngabehi Wirokusumo, pulera kedua
(3) Daerah Banjar Petambakan (sekarang masuk Kecamatan Singomerto), diserahkan kepada Kyai Ngabehi Wiroyudo, putera kelima
(4) Daereh Kejawar, dikuasai oleh kyai Adipati Wargohutomo II sendiri (istrinya bernama Ram Karlimah, adalah pulera-puteri pertama) Putera putrri keempat Rara Kartiyah tidak diberi bagian karena telah mcnjadi isteri Sultan Hadiwijoyo di Pajang.

Dengan terjadinya pceristiwatersebut diatas, maka Kyai Adipati Wargohutomo II ini, Terkenal dengan sebutan Adipati Marapat, dari kata mara papat (membagi empat). Di desa Kejawar, di sebelah barat daya di sisi sebelah selatan sungai Serayu dekat dengan pertemuan Kali Pasinggan, < tcrdapat hutan Mangli. Di tempat itulah Kyai Adiapati Wargohutomo II Telah membangun kota Banyumas, dan mambangun rumah Kabupaten pada Tahun I582. Oleh karena itu beliau dapat disebut scbagai Bupati PcrTama (ke I) dan dikenal pula dengan scbutan Kyai Adipati Marapat.
Kyai Adipati Wargohutomo II atau Adipati Marapat (ialah Raden Joko Kauman cucu R. Haryo Baribin Pandita Putra Arah Majapahit) kemudian menurunkan Bupati-Bupati Banyumas yang berkuasa sccara turun-temurun, yaitu :
(I) Kyai Raden Adipati Mertosuro I, Adipati Janah 4 ’
(2) Kyai Raden Adipati Mertosuro II,
(3) Kyai Raden Ngabehi Mertoyudo I, R. Ngabehi Bawang
(4) Kyai Raden Ngabehi Mertoyudo II, Kyai Adipati Yudonegoro I =Tumenggung Kokum L= Tumenggung Soda Mesjid.
(5) Kyai Adipati Yud0nce0r0 I, Tumenggung Seda Pendopo
(6) Kyai Adipati Yudonegoro II, Raden Bagus Koming Mertowijoyo, yang kemudian diangkat menjadi Kanjeng Kyai Raden Adipati Danurejo I, Patih Kasulunan Yogyakarta yang Pertama (Kc I)
(7) Radcn Adipati Yudonegoro IV, Raden Bagus Ngamen Gondokusumo
(8) Radcn Adipati Yudoncgoro V, ‘R. Bagus Gondokusumo i
Ketika Raden Adipati Yudonegoro V (Pamungkas) menjadi Bupati Banyumas, keadaan be-rada di bawah Pemerinlahan Inggris dan yang menjadi Gubernur Jendra1 adalah Sir Stamford Raffles, antara tahun 1811-1816. Suatu ketika Gubemur Jendral Rafflefi mengadakan peninjauan keliling ke seluruh daerah di Jawa. Dalam perjalanan ke Yogyakarta dan Surakarta, sesampai di Tegal lalu menuju ke Banyumas dan bermalam di Kabupalen Banyumas. ‘
Dalam kesempatan ini Raden Adipati Yudonegoro V telah mengajukan suatu permohonan kepada Gubernur Jendral Raffles agar Banyumas dapat terlepas dari Kasunanan Surakarta dan berdiri sendiri sebagai satu Kasutanan. Oleh Raffles permohonan ini dijanjikan akan dipenimbangkan terlebih dahulu dengan Susuhunan Surakarla.
Selelah Gubernur Jendral Raffles sampai di Surakarta, maka masalah permohonan Adipati Yudonegoro V disampaikan dan dipertimbangkan dengan Susuhunan Surakarta. Rupanya Susuhunan Surakarta tidak berkenaan di hati. Maka tak lama kemudian Raden Adipati Yudonegoro V dipanggil menghadap ke Surakarta. Beliau lalu diperhentikan dari jabatannya sebagai Bupati oleh Susuhunan Paku Buwono IV pada tahun 1816,dan tidak diperkenankan kembali ke Banyumas, serta harus menetap di Surakarta.
  1. Adipati Yudonegoro V tidak diganti puteranya. Kabupaten Banyumas dijadikan dua bagian, yaitu :
(1) Kesepuhan
(2) Kanoman
Yang masing-masing di bawah kekuasaan seorang Wadono Bupati
( I ) Wadono Bupati Kesepuhuan
Adapun yang diangkal sebagai Wedono Bupati Kesepuhan adalah Raden Ngabehi Cakrawedana, Ngabehi Gunung Pasir (ipar Raden Ngabehi YudonegoroV), dengan gelar Raden Tumenggung Cakrawedana I, lalu menjadi Wadono Bupati Kasepuhan yang dijabatnya hingga tahun1931, di mana saat itu Bunyumas menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. K.R.A. Cakrawedana I adalah putera dari Tumenggung Winareja Bupati Panumping Keraton Surakarta. Sebelum menjadi Wadono Bupati, K.R.A. Eakrawedana 1 menjadi Ngabehi dan pendiri kota Purwokerlo.
Ketunanannya sebagian menjadi pejabat-pejabat di daerah Banyumas. Tahun 1838 beliau wafat dan jenazahnya dimakamkan di Pesarean Dawuhan-Banyumas.
(2) Wedono Bupati Kanoman 1
Yang diangkat menjadi Wedono Bupati Kanoman adalah putera Ngabehi Mertawijaya, adik Raden Adipati Yudonegoro IV, yailu Raden Tumenggung Menadireja I (saudara sepupu Raden Adipati Brotodiningrat). Menjadi Wedono Bupati tahun 1816-1830. Beliau wafat tahun 1830,dan dimakamkan di Pesarean Kabutuh-Sokaraja.

Adipati wirasaba

KADIPATEN WIRASABA
Kadipaten Wirasaba sekarang terletak di daerah Kecamatan Bukateja Purbalingga, Kadipaten wirasaba merupakan kadipaten pada akhir zaman majapahit kurang lebih tahun 1466, pada saat itu Banyumas dan Purbalingga belum ada dan masih merupakan hutan belantara
Kadipaten wirasaba pada saat itu masih dalam kekuasaan majapahit, sebagai Adipati yang pertama adalah Raden Paguwan atau Sayid Abu Asmanapi dengan gelar Kyai Raden Adipati Wirohudoyo, merupakan putra sulung dari Sayid Ismanapi Attas bin Jamnga atau Pangeran Pujonggo atau Sultan Modang dan merupakan keturunan Syeh Jumadil kubro, adipati wirasaba ke II dan seterusnya bukan dari keturunan beliau di atas namu keturunan dari majapahit dan Pakuhan parahiyangan.
Raja yang memerintah Pakuhan Parahiyangan sekitar tahun 1464-1503 bergelar Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jaya Dewata adalah putera daru Sri Prabu Linggawesi Rahiang dewa Niskala
Pada suatu hari sri prabu Linggawastu mendengar bahwa di wilayah kerajaannya telah kedatangan dan bermukim seorang pertapa dari majapahit , yaitu adik dari Sri Prabu Brawijaya ke V bernama Raden haryo Baribin pandita Putra, maka segera di titahkan seorang patih agar mencarinya, dan bila ketemu agar menghadap Prabu Linggawastu.
Setelah Haryo Baribin menghadap Prabu Linggawastu kemudian di nikahkan dengan adik kandung Sri Prabu Linggawastu yaitu Dewi ratna Pamekas sebagai garwa padmi : dan memiliki 4 orang anak yaitu :
  1. Raden Jaka katuhu, dewasa menjadi adipati wirasaba II dengan gelar Kyai Raden Adipati Wirohutomo I
  2. Raden banyak Sosro, Setelah dewasa bermukimdi Kadipaten Pasir luhur
  3. Raden Banyak kumoro, setelah dewasa menjadi istri kya mranggi keling
  4. Rr. Ngaisah, setelah dewasa menjadi istri Kyai Mranggi Kejawar/Semu
Raden banyak Sosro wafat di usia muda dan meninggalkan anak bernama Raden joko Kaiman, kemudian Raden joko Kaiman oleh kakenya Raden haryo baribin di serahkan kepada bibinya yaitu Nyai mranggi kejawar, dan setelah dewasa menjadi menantu adipati wirasaba I yaitu raden Wargohutomo I.
Pada masa adipati wargohutomo I, kadipaten wirasaba di bawah kekuasaan kerajaan pajang dengan rajanya Sultan Hadiwijoyo Kamidil ngalam Pranatagama tahun 1546-1582,. pada suatu ketika adipati wirasaba mendapat titah raja agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk di jadikan garwa ampeanSultan pajang. oleh adipati wirasaba yang di persembahkan adalah putrinya yaitu roro kartiyah, yang semasa kecilnya pernah di jodohkan dengan putra saudaranya yaitu Kyai Gede Toyareka yang bernama raden mangun, tetapi stelah dewasa roro kartiya tidak suka dengan raden mangun, dan berpisah sebelum melakukan kewajiban sebagi seorang istri.
mendengan adipati wirasaba mempersembahkan putrinya ke raja pajang, kyai gede toyareka tidak dapat menerimanya maka bersma putranya berangkat ke pajang untuk mengadu ke sultan hadiwijoyo, ketika kyai gede toyareka samapi ke pajang , adipati wirasaba dalam perjalannan menuju wirasaba, setelah sultan hadiwijoyo menerima pengaduan kyai gede toyareka maka dia sangat murka dan mengutus prajurit untuk menyusul adipati wirasaba dan membunuhnya, steleh ki gede toyareka pergi dari pajang, sultan hadiwijoyo memanggil roro kartiyah meminta penjelasan, mendengar pernyataan roro kartiyah sultan hadiwijoyo sangat menyesal akan tindakanya tanpa penelitian, segera di perintahkan patihnya agar menyusul prajurit yang diutus membunuh adipati wirasaba agar membatalkannya
Tidak lama utusan sultan pajang yang di utus untuk membunuh adipati wirasaba bertemu dengan adipati wirasaba,ketika itu adipati wirasaba sedang makan , di kediaman kyai bener, duduk di serabi rumah dengan lauk nasi dan pindang angsa/banyak pada hari sabtu pahing
tidak lama kemudian utusan patih dari sulatn pajang tiba dan melambaikan tangan, isarat tersebut di salah artikan dan utusan pertama langsung menusukan tombak ke dad adipati wirasaba, sebelum kematiannya adi pati wirasaba berpesan :
Para keturunanku di kemudian hari, jangan ada yang bersuamikan dan beristrikan keturunan toyareka, jangan ada yang berpergian pada hari sabtu pahing, jangan ada yang memelihara kuda berbulu dawukbang, jangan ada yang berpakaian destar dan ikat kepala yang berwarna wulung, jangan duduk di balai malang, jangan memakan daging angsa.
Setelah itu adipati wirasaba wafat dan di makamkan di pesarean pekiringan timur kota banyumas
sumber buku : Mengenal Purbalingga Drs. Sasono & Tri Atmo 1993
mungkin ini alasan tidak boleh pergi hari sabtu pahing di banyumas dan sekitarnya,

Sejarah Pra Banyumas

Sejarah Pra Banyumas
Sebelum ada kabupaten banyumas,purbalingga,banjarnegara, terdapat 3 kadipaten di daerah lereng gunung slamet, yaitu 1, Kadipaten wirasaba di bawah kekuasaan Kerjaan Pajang, 2, Kadipaten Arenan di bawah kekuasaan Demak Bintoro dan 3, Kadipaten Onje di bawah kekuasaan Pajajaran, di sini kita akan uraikan sejarah sebelum kabupaten banyumas : 

KADIPATEN WIRASABA
Kadipaten Wirasaba sekarang terletak di daerah Kecamatan Bukateja Purbalingga, Kadipaten wirasaba merupakan kadipaten pada akhir zaman majapahit kurang lebih tahun 1466, pada saat itu Banyumas dan Purbalingga belum ada dan masih merupakan hutan belantara
Kadipaten wirasaba pada saat itu masih dalam kekuasaan majapahit, sebagai Adipati yang pertama adalah Raden Paguwan atau Sayid Abu Asmanapi dengan gelar Kyai Raden Adipati Wirohudoyo, merupakan putra sulung dari Sayid Ismanapi Attas bin Jamnga atau Pangeran Pujonggo atau Sultan Modang dan merupakan keturunan Syeh Jumadil kubro, adipati wirasaba ke II dan seterusnya bukan dari keturunan beliau di atas namu keturunan dari majapahit dan Pakuhan parahiyangan.
Raja yang memerintah Pakuhan Parahiyangan sekitar tahun 1464-1503 bergelar Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jaya Dewata adalah putera daru Sri Prabu Linggawesi Rahiang dewa Niskala
Pada suatu hari sri prabu Linggawastu mendengar bahwa di wilayah kerajaannya telah kedatangan dan bermukim seorang pertapa dari majapahit , yaitu adik dari Sri Prabu Brawijaya ke V bernama Raden haryo Baribin pandita Putra, maka segera di titahkan seorang patih agar mencarinya, dan bila ketemu agar menghadap Prabu Linggawastu.
Setelah Haryo Baribin menghadap Prabu Linggawastu kemudian di nikahkan dengan adik kandung Sri Prabu Linggawastu yaitu Dewi ratna Pamekas sebagai garwa padmi : dan memiliki 4 orang anak yaitu :
  1. Raden Jaka katuhu, dewasa menjadi adipati wirasaba II dengan gelar Kyai Raden Adipati Wirohutomo I
  2. Raden banyak Sosro, Setelah dewasa bermukimdi Kadipaten Pasir luhur
  3. Raden Banyak kumoro, setelah dewasa menjadi istri kya mranggi keling
  4. Rr. Ngaisah, setelah dewasa menjadi istri Kyai Mranggi Kejawar/Semu
Raden banyak Sosro wafat di usia muda dan meninggalkan anak bernama Raden joko Kaiman, kemudian Raden joko Kaiman oleh kakenya Raden haryo baribin di serahkan kepada bibinya yaitu Nyai mranggi kejawar, dan setelah dewasa menjadi menantu adipati wirasaba I yaitu raden Wargohutomo I.
Pada masa adipati wargohutomo I, kadipaten wirasaba di bawah kekuasaan kerajaan pajang dengan rajanya Sultan Hadiwijoyo Kamidil ngalam Pranatagama tahun 1546-1582,. pada suatu ketika adipati wirasaba mendapat titah raja agar mempersembahkan salah seorang putrinya untuk di jadikan garwa ampeanSultan pajang. oleh adipati wirasaba yang di persembahkan adalah putrinya yaitu roro kartiyah, yang semasa kecilnya pernah di jodohkan dengan putra saudaranya yaitu Kyai Gede Toyareka yang bernama raden mangun, tetapi stelah dewasa roro kartiya tidak suka dengan raden mangun, dan berpisah sebelum melakukan kewajiban sebagi seorang istri.
mendengan adipati wirasaba mempersembahkan putrinya ke raja pajang, kyai gede toyareka tidak dapat menerimanya maka bersma putranya berangkat ke pajang untuk mengadu ke sultan hadiwijoyo, ketika kyai gede toyareka samapi ke pajang , adipati wirasaba dalam perjalannan menuju wirasaba, setelah sultan hadiwijoyo menerima pengaduan kyai gede toyareka maka dia sangat murka dan mengutus prajurit untuk menyusul adipati wirasaba dan membunuhnya, steleh ki gede toyareka pergi dari pajang, sultan hadiwijoyo memanggil roro kartiyah meminta penjelasan, mendengar pernyataan roro kartiyah sultan hadiwijoyo sangat menyesal akan tindakanya tanpa penelitian, segera di perintahkan patihnya agar menyusul prajurit yang diutus membunuh adipati wirasaba agar membatalkannya
Tidak lama utusan sultan pajang yang di utus untuk membunuh adipati wirasaba bertemu dengan adipati wirasaba,ketika itu adipati wirasaba sedang makan , di kediaman kyai bener, duduk di serabi rumah dengan lauk nasi dan pindang angsa/banyak pada hari sabtu pahing
tidak lama kemudian utusan patih dari sulatn pajang tiba dan melambaikan tangan, isarat tersebut di salah artikan dan utusan pertama langsung menusukan tombak ke dad adipati wirasaba, sebelum kematiannya adi pati wirasaba berpesan :
Para keturunanku di kemudian hari, jangan ada yang bersuamikan dan beristrikan keturunan toyareka, jangan ada yang berpergian pada hari sabtu pahing, jangan ada yang memelihara kuda berbulu dawukbang, jangan ada yang berpakaian destar dan ikat kepala yang berwarna wulung, jangan duduk di balai malang, jangan memakan daging angsa.
Setelah itu adipati wirasaba wafat dan di makamkan di pesarean pekiringan timur kota banyumas
sumber buku : Mengenal Purbalingga Drs. Sasono & Tri Atmo 1993
mungkin ini alasan tidak boleh pergi hari sabtu pahing di banyumas dan sekitarnya,