Setelah mencapai usia senja, Syekh Wali Rakhmat lalu kembali
pulang ke negerinya. Pimpinan daerah Rajawana diserahkan kepada putera sulungnya
bemama Pangeran Makhdum Kusen. Konon pada suatu hari Pangeran Makhdum Kusen
pernah dipanggil oleh Adipati Onje. Panggilan itu tidak jelas apa sebenamya
yang dimaksud. Maka Pangeran Makhdum Kusen rnenolaknya untuk datang menghadap
kc Kadipaten Onje, dengan alasan meskipun desa Rajawana termasuk kekuasaan
Kadipaten Onje, namun desa ini hakekamya adalah milik,Allah s.w.t, Dan di desa
ini Pangeran Makhdum Kusen tidalc akan berbuat suatu kejahatan terhadap siapapun
juga, apalagi terhadap seorang Adipati. Apabila sang Adipati menghendaki
berlemu, maka djpersilahkan datang saja ke desa Rajawana. Pangeran MakhdumKusen bersedia menerima dan menemuinya dengan senang hati. Namun penolakan itu
dianggapnya oleh Adipati Onje suatu penghinaan. Atas kemarahannya adipati Onje
lalu mengirim pasukan untuk menangkap Pangeran Makhdum Kusen. Akan tetapi sial,
sebelum para prajurit pasukan Kadipaten Onje memasuki desa Rajawana, hari
keburu malam hari (sudah kemalaman). Akhirnya kedafangan pasukan Kadipa Len
Onje ini dapat diketahui oleh masyarakat Rajawana Lermasuk pangeran Makhdum
Kusen sendiri.
Oleh karena itu Pangeran Makhdum Kusen mengumpulkan beberapa
orang wanita, agar membunyikan rebana di serambi muka. Sedangkan ia sendiri melakukan
shalat hajat di dalam kamar. Bersamaan dengan terdengarnya suara rebana tadi,
ribuan ekor tawon gang dengan secara tiba-tiba dan serempak terbang menyerang
dan melabrak perajurit-perajurit Kadipaten Onje, yang tengah mempersiapkan
tempat untuk bermalam di tepi salah sebuah sungai. Karena tak tahan menghadapi
binatang-binatang bersengat Lersebut, terpaksa mereka lari tunggang langgang
dan pulang kc kadipaten Onje. Penabuhan rebana ini hingga sekarang disebut
”Braen” yang merupakan kesenian khas desa Rajawana dan sekitarnya. Pangeran
Makhdum Kusen yang terkenal pula dengan nama Pangeran Kayu Puring, menurunkan
putera bemama pangeran Makhdum jamil. Pangeran Makhdum Jamil menurunkan dua
orang putera, masing -masing :
(1) Pangeran Makhdum Tauret, yang dimakamkan di
Bogares-Tegal
(2) Pangeran Makhdum Wali Prakosa, yang dimakamkan di desa
Pakiringan-Purbalingga
Pangeran Makhdum Wali Prakosa, tegakkan Mesjid Demak
Konon diceritakan bahwa sewaktu Mesjid Demak selesai
dibangun, Sunan Bonang tertegun bingung. Mesjid yang baru didirikan itu temyata
miring. Untuk membongkar kembali sulit, umuk menegakkanpun tak gampang. Bukan
hanya Sunan Bonang yang tertegun.Wali lain yang berjumlah sembilan itu juga
ikut bingung. Di tengah kebingungan itu, muncullah seorang santeri bertubuh
kerempeng mengangkat tangan. “Hal bocah Cahyana, nampaknya kau mau usul?” tegur
Sunan Bonang. Yang dimaksud “bocah Cahyana” adalah santeri muda namanya Makhdum
asal perbukitan Cahyana wilayah Purbalingga bagian timur laut. "Bagaimana
kalau hamba jadi palu, sedangkan yang Mulia para Wali menjadi ganden? Insya
Allah mesjid dapat menjadi tegak,” sahut santeri kerempeng itu. Sunan Bonang
terdiam, semua diam, Sultan Trenggono yang
di dekat tempat itupun terdiam. Apa' yang kau maksud, Makhdum?"
tanya Sultan Trenggono. “Bila paduka berkenani para wali Sembilan berdoa, saya
yang mengamini. Semoga Tuhan memberi kekuatan,” jawab Makhdum. Baiklah, kita
laksanakan,” ujar. Sultan Trenggono. Para Wali Sembilan ilu berdoa, si santeri
kerempeng dari Cahyana itu mengamini, namun
tak satupun tiang-Liang mesjid itu bergerak : “Bagaimana, Makhdum? Tukas
Sultan. “Ampun, Sinuwun, kalau Sinuwun berkenan, ijinkanlah hamba yang berdoa,
para Wali Sembilan yang mengamini, dengan menyebul asma Allah, insya Allah
mesjid dapat menjadi legak.” jawab bocah Cahyana itu. Sultan Trenggono segera
memberikan restu. Sambil memegangi tiang masing-masing buatannya, mesjid Demak
dapat berdiri tegak. Semua mengucapakn puji syukur. “Keperkasaan itu berkal
doamu, hai Makhdum. Maka kau kuberi gelar Wali Prakosa. Tugasmu meng-Islam-kan
para kawula di lereng bukit Cahyana,” ucap Sultan Trengggno. Nah, pemuda
Cahyana yang bemama Makhdum itu dikenal sebagai Wali Prakosa. ia menjadi penyebar
agama Islam di belahan timur Purbalingga kembalinya dari Demak, Makhdum Wali
Prakosa mendiri- kan pondok pésantren di hamparan Igir Cahyana yang kemudian
disebut Pakeringani yang artinya tempat yang dimuliakan. Ucapan tersebui
akhimya berubah menjadi Pakiringan, sekarang menjadi ibukota Kecamatan Karangmoncol.
Makhdum Wali Prakosa semakin mempunyai banyak santeri yang datang
dari berbagai penjuru. Tanah Perdikan sebagai hadiah "Sinu-wun Sultan
Trenggono, digunakan untuk kemakmuran rakyat. Seking banyaknya santeri yang datang
dari jauh, Wali Prakosa selalu menasehalkan képada para pawongannya, agar gemar
memberi makan kepada para santeri itu :
"Tak baik apabila pawongan di sini menjual nasi?' Akan
tetapi berikanlah secara sukarela", demikian nasehatnya. Dari nasehai itu
temyala menjadi pepali (sesuatu yang dilarang) bagi penduduk pakiringan, sampai
seka- rang jarang kita temukan warung nasi di kota Kecamatan ini. Walaupun kita
akui, sudah mulai ada yang melanggar pepali tersebut. Dilarang menjual nasi agar
memberi suka rela kepada para santeri agar mereka tenang menuntut ilmu. Nasi
tidak mereka jual, tetapi ketupat atau Iontong boleh. Babad dan sejarah
Purbalingga tidak mcnyebutkan secara terperinci. hanya disebutkan Wali Prakosa
adalah keturunan Syekh Atas Angin, seorang wali yang datang dari negeri Parsi,
dcngan sebutan Syehk Wali Rakhmat. Konon Syekh Wali Rachmat yang bcrhasil
mengIslamkan seorang pertapa putera Pajajaran, yang Lengah mencari “nur”
(cahaya). Dia kemudian dikenal dengan sebutan Syekh Jambu Karang yang memiliki penignggalan
Ardi Lawet, tempat pasujarahan yang paling ramai di eks Karesidenan Banyumas.
Ardi Lawet termasuk desa Panusupan, Kecamtan Rembang, Kabupalen
Purbalingga. ~ ..
Demikian kisah yang bersumber dari buku kuno huruf-’Jawa tulisan
tangan yang disodorkan Ki Wiryatmi (57), juru kunci makam Wali Prakosa didesa
Pakiringan, Kecamalan Karangmoncol, Kab Purbalingga; Ki Wiryatmi menjelaskan,
bahwa Ia menjadi juru kunci makam Wali Prakosa merupakan jabatan warisan
ayahnya. Ayahnyapun menerima kedudukan warisan dari neneknya. Pangeran Makhdum
Wali Prakosa mcnurunkan 2 (dua) orang putera,yaitu :
(1) Kyai Singayuda, Adipati Arenan (Kecamatan Kaligondang
Kabuputen Purbalingga)
(2) Pangeran Astri, yang menikah dengan putera Sunan Kudus,
atau Icbih dikenal dengan sebutan Santri Gudig yang makamnya di Cilacap.
Kyai Singayuda menurunkan seorang pulera-puleri yaitu :
1. Nyai
Tegal Pingen atau Pertiwati, diperisteri oleh Raden Tumenggung Dipayuda III,
Bupati Purbalingga ke I (pertama) tahun 1759-1787.
2. Pertimasa,
yang wafat dalam pertempuran mempertahankan Kadipaten Arenan yang di serah oleh
Kadipaten Onje, karena tipu muslihat Adipati Onje
bbersambung........................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar